Saturday, September 1, 2012

SBY Harus Cegah Konflik KPK-Polri

JAKARTA - Prestasi besar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi proyek simulator SIM Korlantas Mabes Polri yang menyeret mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka terus mengundang reaksi. Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari tanpa sungkan mengatakan bahwa reformasi di tubuh kepolisian memang baru sebatas kelembagaan dan belum menyentuh aspek kultural.

"Reformasi kultur macet total," kata Eva dalam diskusi Membongkar Kasus Korupsi di Tubuh Polri di gedung parlemen kemarin (2/8).

Dia mencontohkan, platform kepolisian yang hendak memosisikan diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dalam penerapannya justru jauh dari itu. Dalam berhadapan dengan masyarakat, nuansa militeristisnya tetap dominan.

Selain itu, lanjut Eva, kultur korup di kepolisian juga belum bisa dihilangkan. "Ada gap luar biasa. Perwira dilayani bawahan dan kaya luar biasa. Kalau ada yang mau naik pangkat, ada setoran; minta pindah, ada setoran; mendaftar pendidikan, ada upeti. Pernah ditanyakan ke Kapolri, jawabanya meliuk-liuk. Jadi memang ada masalah integritas dalam manajemen kepolisian," kritik politikus PDIP itu.

Dalam kasus korupsi simulator SIM Korlantas tersebut, kepolisian semakin menunjukkan ketidakdewasaannya. Eva mencontohkan, ada pejabat kepolisian yang menyebut tidak menemukan unsur korupsi. Belakangan, Kabareskrim Mabes Polri disebut telah menetapkan lima tersangka, tak termasuk Irjen Pol Djoko Susilo.

"Perlawanan kepolisian berlanjut. Kelihatan sekali kehendak untuk menyerimpeti (menghadang, Red) KPK masih berlangsung secara kelembagaan. Dalam hal ini, Kapolri yang harus disalahkan. Yang pusing Pak Tarman (Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman). Dititipi macam-macam, harus menyelematkan teman," beber Eva.

Supaya lebih fair, Eva berharap agar Polri menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada KPK. "Biar tidak ada pejabat Polri yang pasang badan untuk menyelamatkan teman," tegasnya lagi.

Eva menyampaikan, kekhawatiran akan terjadinya konflik antarlembaga, yakni antara Polri dan KPK, sebenarnya bisa dicegah Presiden SBY. Apalagi, pemberantasan korupsi merupakan program andalan SBY. Sebagai kepala pemerintahan, SBY juga punya otoritas untuk mengoordinasikan kementerian dan semua lembaga negara.

"Semua bergantung SBY. Kalau ada anak buah yang tidak sevisi, tapi tidak ditertibkan, berarti SBY belum serius. Kapolri itu yang milih SBY. Jadi, seharusnya Kapolri manut. Kalau tetap pembiaran, tidak ada ketegasan agar semua penyidik seirama, ya mbujuki (berbohong, Red)," kata Eva yang terpilih dari daerah pemilihan Jatim 4 itu.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyatakan, persoalan tersebut kembali menunjukkan arogansi kepolisian dalam mewujudkan kekuasan. "Ini negara hukum atau negara apa" Kok kekuasaan yang diutamakan. Kepolisian menjadi semacam penguasa," kata Bambang.

Dia berharap, kepolisian tidak mengganggu proses hukum yang dikerjakan KPK. "Biar KPK menuntaskan, aliran dan ke mana saja," ujarnya.

Di tempat yang sama, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Alfons Loemau menyampaikan, bukan kali ini saja badai korupsi di Polri melibatkan perwira tinggi. "Setiap pemegang jabatan cenderung melakukan penyimpangan. Sulit menemukan petinggi yang hidupnya sederhana. Jika dibandingkan dengan anak buah yang hidup di asrama, para petingginya tinggal di perumahan mewah," katanya.

KPK, menurut Alfons, harus secepatnya menangkap dan menahan Djoko yang telah berstatus tersangka. "Kenapa ragu-ragu? Kenapa takut? Kenapa untuk kasus bupati Buol itu begitu heroik? Mengapa ini tidak?" pancing Alfons. Dia percaya, kasus Djoko menjadi titik balik yang sangat baik bagi kepolisian. Terlebih lagi, sejak 2 Maret 2012, Djoko menjadi gubernur Akpol.

No comments:

Post a Comment

close